BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Eksistensi hadis sebagai sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun
karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam
proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam
dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian
hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist
dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan
pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan
sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda
dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan
sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist
melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para
perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun
dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau
dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga
nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam
merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para filosof
misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai
bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu yang
struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa
pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat
berbeda dengan struktur transmisi hadist. Ulama demikian ketat melakukan
seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang
menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh
karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir,
Masyhur dan Ahad.
2.
Rumusan
Masalah
·
Apa yang
dimaksud dengan hadits mutawattir serta pembagian dan contohnya ?
·
Apa yang
dimaksud dengan hadits ahad serta pembagian contohnya ?
3.
Tujuan
Masalah
·
Untuk
mengetahui pengertian hadits mutawattir pembagian serta contohnya
·
Untuk
mengetahui pengertian hadits ahad pembagian serta contohnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadist Mutawatir
1.
Pengertian
a.
Menurut
bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar
”al-tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut
atau beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang
berarti hujan turun berturut-turut.
b.
Menurut
istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi
pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.[1]
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah
hadist yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya serta
mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist
itu.
Pengertian di atas, kalau kita
pecah-pecah akan terdapat tiga syarat bagi Mutawatir yaitu:
a. Mesti banyak sanadnya.
b.
Mesti sama
banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad, umpamanya:
dipermulaan sanad yang mencatat 50 orang, maka dipertengahan sanadnya,
sedikitnya mesti 50 rawi dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW
pun sedikitnya mesti 50 orang.
c.
Mesti
menurut pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-rawi itu berkumpul
bersama-sama, lalu mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun
berkumpulnya itu dengan disengaja atau kebetulan.[2]
2.
Syarat-syarat
Hadist Mutawatir
Dengan definisi di atas, dipahami
bahwa suatu hadist bias dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi 4
syarat, yakni:
a. Jumlah perawinya harus banyak. Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih
minimal sepuluh perawi.
b.
Perawi yang
banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
c.
Secara
rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil
sepakat untuk berdusta.
d.
Sandaran
beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan
dalam meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata: سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami telah menyentuh) dan lain
sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti:
pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadist
tersebut tidak dinamakan mutawatir.
3.
Nilai Hadist
Mutawatir
Hadist mutawatir itu mengandung nilai “dlaruriy”.
Yakni suatu keharusan bagi manusia untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu
hadist, seperti halnya seseorang yang telah menyaksikan suatu kejadian dengan
mata kepala sendiri. Bagaimana mungkin dia ragu-ragu atas kebenaran sesuatu
yang disaksikan itu? Demikian juga dengan nilai hadis mutawatir, semua hadist
mutawatir bernilai maqbul (dapat diterima sebagai dasar hukum) dan tidak
perlu lagi diselidiki keadaan perawinya.[3]
4.
Hukum
Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut,
memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu
tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama
menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari
hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti
bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist
mutawatir tidak membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup denga
bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran
khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada
sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah
melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.
5.
Keberadaan
Hadist Mutawatir
Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadist mutawatir
jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini dibantah keras oleh Ibn Hajar, “orang yang
mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya sedikit, berarti dia kurang
serius mengkaji hadist”.
Para ulama kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat
ini. Apabila yang dimaksud oleh Ibn Shalah adalah hadist mutawatir lafdzi, maka
pendapat itu ada benarnya, karena keberadaan hadist mutawatir lafdzi realitanya
memang tidak banyak. Ibn Hajar tatkala mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya
banyak, juga ada benarnya, jika yang dimaksud adalah hadist mutawatir maknawi
atau mutawatir secara umum.[4]
6.
Macam-macam
Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir terdiri dari 2
macam, yakni :
a.
Mutawatir
Lafdzi
Lafdzi
artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir yang lafadz
hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist mutawatir yang berkaitan
dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh
orang banyak kepada orang banyak.
Contoh :
من كذب علي
متعمدافليتبوأمقعده من النار
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku
dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka
Keterangan :
1)
Hadist ini
diriwayatkan orang dari jalan seratus sahabat Nabi SAW.
2)
Lafadz yang
orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut,
diantaranya ada yang berbunyi begini :
من تقول علي
مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya : Barang
siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah
katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
ومن قال علي
مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya : Dan barang
siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka
hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Hakim)
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya
boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
3)
Dari ketiga
contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti
lafadznya semua sama betul-betul.
4)
Hadist
tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya:
Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu
Hanifah, Thabarani dan Hakim.
Gambaran sanadnya dari 10 imam yang
tersebut, kalau kita susun akan terdapat begini :
AL-BUKHARI
(1)
Musa
Abu ‘Awanah
Abu Hushain
Abu Shalih
Abu Hurairah
|
MUSLIM
(2)
‘Ali ibn Al-Hidjr
‘Ali ibn Musir
Muhammad ibn Qais
‘Ali ibn Rabi’ah Al-Mughirah
|
AD-DARIMY
(3)
Muhammad ibn Isa
Haitsam
Abu Zubair
Zabir
|
ABU DAWUD
(4)
‘Amr ibn ‘Aun
Musaddad
Wabrah
‘Amir
‘Abdullah ibn Az-Zubair
Az-Zubair
|
IBNU MAJAH
(5)
Muhammad ibn Ramh
Al-Laits
Ibnu Shihab
Anas
|
||
SABDA NABI : “Barang siapa berdusta atas (nama)-ku
dengan sengaja, maka hendaklah menyediakan tempat duduknya dari neraka
|
||||||
At-Tirmidzi
(6)
Abu Hisyam
Abu Bakar ibn Ajjaz
‘Ashim
Zirr
Ibnu Mas’ud
|
Ath-Thajalisy
(7)
Abdurrahman
Abi Zinad
Amir ibn Sa’ied
Utsman
|
Abu Hanifah
(8)
‘Athijah
Abi Sa’ied Al-Khudri
|
Ath-Thabarani
(9)
Abu Ishaq
Ibrahim
Nubaith ibn Syarieth
|
Al-Hakim
(10)
Abul Fad-l ibn Al-Husain
Muhammad ibn A. Wahhab
Ja’far ibn ‘Aun
Abu Hajjan
Jazid ibn Hajjan
Zaid ibn Arqam
|
5)
Cobalah
perhatikan 10 gambaran sanad di atas, diantara rawi-rawinya tidak ada seorang
pun yang sama, semua berlainan.
6)
Selain dari
hadits tersebut, ada banyak lagi yang temasuk dalam mutawatir lafdzi,
sebagaimana kata imam Sayuti
Berikut ini
disebutkan enam hadist :
نضر الله امرء سمع مقالتي فوعاها
وحفظها وبلغها (رواه الترميذي)
Artinya :
Mudah-mudahan Allah akan berbuat baik kepada orang yang mendengar sabdaku, lalu
ia peliharanya dan menjaganya serta menyampaikannya (kepada manusia). (HR.
Turmudzi)
إ ن القرﺁن
انزل علي سبعة احرف (رواه النسائ)
Artinya :
Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf (HR. Nasai)
من بني لله مسجدا بني الله له بيتا في
الجنة (رواه التبراني)
Artinya :
Barang siapa mendirikan sebuah mesjid karena Allah, maka Allah akan mendirikan
baginya sebuah rumah di surga (HR. Thabarani)
كل شراب اسكر فهو حرام (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap minuman yang memabukkan , maka dia
itu haram (HR. Bukhari)
إن الاٍسلام غريبا وسيعوده غريبا
(رواه الدارمي)
Artinya :
Sesungguhnya agama Islam itu timbul dengan keadaan asing dan akan kembali
dengan asing (juga) (HR. Darimi)
كل ميسر لما خلق له (رواه البخاري)
Artinya :
Tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang sudah ditakdirkan baginya (HR.
Bukhari)
7)
Mutawatir
Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam pembelajaran ilmu Hadist, karena
rawi-rawi yang menceritakan Hadist itu tidak perlu diperiksa dan dibahas lagi,
sebab tida syarat Mutawatir 37 sudah memadai untuk menetapkan keyakinan kita
akan benarnya dari Nabi SAW.
b. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi
artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah mutawatir pada ma’na, yaitu
beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu
perbuatan. Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu
ma’na atau tujuan atau hadist mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal
perbuatan nabi, artinya perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh orang
banyak kepada orang banyak lagi.
Contoh:
Sembahyang
maghrib tiga rakaat.
Keterangan :
a.
Satu riwayat
menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) nabi sembahyang tiga
rakaat.
b.
Satu riwayat
menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang maghrib tiga rakaat.
c.
Satu riwayat
membayangkan bahwa di Mekkah nabi sembahyang maghrib tiga rakaat.
d.
Satu riwayat
mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.
e.
Satu riwayat
mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat., diketahui oleh
nabi.
f.
Dan
lain-lain lagi.
Semua cerita tersebut ceritanya berlainan, tetapi
maksudnya satu yakni menunjukkan dan menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu
tiga rakaat.[5]
Menurut para ulama, sebuah hadist mutawatir
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi di setiap generasi sudah cukup
bukti sebagai riwayat yang terpercaya atau shahih. Jadi, tawatur bukanlah
bagian “ilm al-isnad” yang menguji watak perawi dan cara periwayatan hadist,
dan mendiskusikan keshahihan hadist atau kelemahannya untuk diterima atau
ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para ulama, hanya untuk dipraktikkan,
sedang historisasinya tidak perlu didiskusikan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah perawi
pada setiap tingkatan yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist mutawatir.
Beberapa ulama menentukan jumlah sampai tujuh puluh, ada yang empat puluh, ada
yang dua belas, dan bahkan ada ulama yang mengatakan cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana
muslim tentang kehujahan (otoritas argumentasi) hadist mutawatir, karena
dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan bukan praduga (zhanni).[6]
B. Hadist Ahad
1. Pengertian
a. Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari
kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan
satu perawi.
b. Menurut istilah, hadist ahad adalah:
هو مالم يجمع
شروط المتواتر
Artinya: Hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir.[7]
Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang
diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist
mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terdapat
dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad.[8]
2. Nilai Hadist
Ahad
Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”. Yakni ia
masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian
lebih lanjut.[9]Menurut
Ibn Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah (Hadist gharib dan
hadist fard) diklasifikasi ke dalam tiga kategori:
Pertama, riwayat perawi tsiqah yang
bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah. Riwayat seperti ini harus
ditolak dan dianggap syadzdz. Kedua, riwayat perawi yang
bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah lainnya. Riwayat jenis
ini diterima. Ketiga, riwayat yang berada diantara dua jenis kategori di
atas. Contoh, menambah sebuah kata dalam hadist yang tidak disebutkan oleh
semua perawi lain yang turut meriwayatkan hadist tersebut. Seperti hadist yang
diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Anna rasul Allah faradha
zakat al-fithr min ramadhan ala kulli hurrin au ‘abdin dzakarin au untsa min
al-muslimin”. Dilaporkan bahwa Malik adalah satu-satunya perawi diantara
para perawi yang menambah kata “min al-muslimin”.
Ubaidillah Ibn Umar, Ayyub dan lain-lain meriwayatkan
hadist tersebut dari Nafi’ tanpa tambahan tersebut. Untuk kategori ketiga
ini, Ibn Ash-Shalah tidak memberikan penilaian sama sekali. Al-Khathib
Al-Baghdadi tidak keberatan dengan tambahan tersebut, dengan syarat dilakukan
oleh perawi yang tsiqah. Dalam hal ini, ia bahkan mengklaim mengikuti
pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadist. Menurut Ibn Katsir (701-774),
tambahan yang dilakukan oleh perawi tsiqah diterima oleh mayoritas
fukaha dan ditolak oleh mayoritas para ahli hadist. Namun, At-Tarmidzi dalam Al-‘Ilal
menganggap shahih apabila tambahan tersebut dilakukan oleh orang yang kuat
hafalannya (dhabith).
Hadist gharib atau fard (tunggal) dapat
diketahui melalui tiga cara: 1) dari aspek lokalitas, hadist tersebut
diriwayatkan oleh perawi tunggal dari sebuah daerah; 2) perawi tunggal dari
seorang imam yang terkenal; 3) perawi dari sebuah daerah tertentu meriwayatkan
hadist dari orang Madinah. Al-Khitab Al-Baghdadi, Ibn Ash-Shaleh, As-Suyuthi,
dan Ibn Katsir mengikuti pendapat Asy-Syafi’I bahwa keshahihan sebuah riwayat
tunggal tergantung pada ke-tsiqah-an perawinya. Dengan kata lain,
untuk menilai ke-tsiqah-an hadis gharib tergantung pada apakah
hadist tersebut memenuhi syarat-syarat hadist shahih ataukah tidak. Jadi,
historitis riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi. Jumlah perawi
dalam setiap tingkatan adalah penting, tetapi tidak menentukan historisitas dan
kepalsuan riwayat tersebut. Dengan kata lain, status “ketunggalan” perawi tsiqah
dalam setiap tingkatan tidak berarti bahwa riwayatnya tertolak atau palsu.[10]
3. Sebab-sebab Hadist Ahad Dinyatakan sebagai Zhanni
Al-Wurud dan Menjadi Obyek Pembahasan Ilmu Hadist
Jumlah periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk
setiap (tsabaqah) sanadnya tidak sebanyak jumlah periwayat pada hadist
mutawwatir. Akibatnya, tingkat keakuratan riwayat hadist ahad tidak setinggi
hadist mutawwatir. Untuk hadist mutawatir tingkat keakuratan riwayatnya
mencapai qath’i (meyakinkan kebenaran beritanya), sedang untuk hadist
ahad, tingkat keakuratan riwayatnya hanya mencapai zhanni (dugaan
keras). Karenanya, untuk mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist
ahad dapat dipercaya ataukah tidak, maka terlebih dahulu sanad dan matannya
harus diteliti. Untuk hadist mutawatir, penelitian yang demikian itu tidak
diperlukan karena sudah pasti kebenaran wurud-nya.[11]
4. Macam-macam Hadist
Ahad
Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi
dalam sanadnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan
Hadist Gharib.
a)
Hadist
Masyhur
1) Pengertian Hadis tMasyhur
Hadist masyhur menurut bahasa yaitu
kata “Masyhur” berbentuk isim maf’ul dari kata “syaharats Al-Amru” yang
berarti sesuatu yang telah terkenal setelah disebarluaskan dan ditampakkan
dipermukaan.[12]
Hadist masyhur adalah hadist yang
diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batasan mutawatir.
Apabila dalam salah satu thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat sanad terdapat
tiga perawi maka hadist tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada thabaqah
sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.[13]
Hadist masyhur terbagi ke dalam dua bagian. Pertama,
hadist masyhur yang shahih, hasan, dan dha’if. Kedua, hadist masyhur
yang hanya dikenal dikalangan terbatas, seperti hadist yang populer dikalangan
ahli hadist atau hadist yang telah cukup populer dikalangan masyarakat.
Di antara kelompok hadist masyhur
adalah hadist mutawatir yang hanya populer, misalnya dalam disiplin ilmu fiqih
dan ushul fiqih, di mana hadist itu tidak pernah disebutkan secara khusus oleh
ahli hadist. Hadist seperti ini sedikit sekali dan hampir tidak ditemukan pada
periwayatan-periwayatan ahli hadist. Hadist ini seperti pada hadist yang
dinukil oleh seseorang yang memperoleh ilmu dengan kejujuran, sesuai kebutuhan
dari orang-orang yang selevel dengannya, mulai dari awal sanadnya sampai akhir
sanadnya.
Karenanya hadist Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan
falyatabawwa maq’adahu min al-nar (Barangsiapa yang berdusta pada ku secara
sengaja, maka bersiaplah untuk menempati tempat tinggalnya yang telah disiapkan
untuknya nanti di neraka) adalah hadist mutawatir. Dan hadist Innama
al-a’malu bi al-niyyat (Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung
pada niatnya), menurut sudut pandang ini, adalah bukan hadist mutawatir.[14] Hadis Nabi SAW:
إن الله لا
يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak
akan menggenggam ilmu pengetahuan dengan mencabutnya dari para hamba.[15]
Istilah masyhur sering juga
digunakan untuk mengungkapkan hadist-hadist yang populer di masyarakat atau komunitas tertentu. Namun
istilah ini tidak berkaitan dengan definisi masyhur di atas. Seperti misalnya
hadis yang populer dikalangan ahli hadist المسلم اخو
المسلم, populer di
kalangan ahli fiqih لاضرر ولا ضرر, populer di kalangan ulama usul fiqih إذا حكم
الحاكم ثم اجتحدفأصاب فله اجران dan lain sebagainya[16]
2) Hadist Mustafidl (nama lain dari hadist masyhur)
Menurut bahasa kata
“mustafidl” berbentuk isim fail dari kata “istifadla”, kata pecahan dari
kata “Faadla”. Artinya sesuatu yang tersebar.[17]
Menurut istilah, definisi hadist mustafidl ada tiga
pendapat. Pertama, hadist mustafidl searti dengan hadist masyhur. Kedua,
mustafidl lebih khusus daripada masyhur, karena bagi mustafidl disyaratkan
jumlah perawi pada dua ujung sanadnya sama, yakni pada awal dan akhir sanad
terdiri dari tiga perawi, sedang masyhur tidak. Ketiga, mustafidl lebih
umum dari pada masyhur, yakni kebalikan pendapat kedua.
3) Pengertian lain tentang hadist masyhur,
maksudnya yaitu hadist masyhur
dipahami sebagai suatu hadist yang telah dikenal dikalangan para ahli ilmu
tertentu atau dikalangan masyarakat umum tanpa memperhatikan ketentuan syarat
di atas, yakni banyaknya perawi yang meriwayatkannya, sehingga kemungkinannya
hanya mempunyai satu jalur sanad saja atau bahkan tidak berasal (bersanad)
sekalipun.
4)
Macam-macam
hadist masyhur:
a.
Masyhur
menurut ahli hadist saja, seperti hadist yang diriwayatkan Anas ra:
قنت النبي
صلي الله عليه وسلم بعد الركوع شهرا يدعو علي رعل وذكوان
Artinya: Bahwa Nabi saw pernah membaca doa qunut
setelah ruku’ selama satu bulan untuk mendoakan keluarga Ri’il dan
Dzakwan (HR. Bukhari Muslim).
b.
Masyhur
menurut ahli hadist, ulama lain, dan masyarakat umum, seperti hadist:
المسلم من
سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya: Seorang muslim adalah orang yang
menyelamatkan sesama orang muslim dari gangguan lisan dan tangannya (HR.
Muttafaq ‘alaih)
c.
Masyhur
menurut ulama fiqih, seperti hadist:
أبغض الحلال
إلي الله الطلاق
Artinya: Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah adalah talaq
d.
Masyhur
menurut ulama ushul fiqih, seperti hadist:
رفع عن أمتي
الخطاء و النسيان وما استكرهوا عليه
Artinya: Terangkat (dosa) dari umatku, kekeliruan,
lupa, dan perbuatan yang mereka kerjakan karena terpaksa
e.
Masyhur
menurut ahli nahwu, seperti hadist:
نعم العبد
صهيب لولم يخف الله لم يعصه
Artinya: Sebaik-baik hamba
Allah Shuhaib, walaupun dia tidak takut Allah, dia tidak berbuat maksiat
f.
Masyhur
menurut masyarakat umum, seperti hadist:
العجلة من
الشيطان
Artinya: Sikap (tindakan)
tergesa-gesa adalah sebagian dari (perbuatan) syaitan
5) Hukum Hadist Masyhur
Hukum hadist masyhur adakalanya shahih, hasan, atau
dha’if bahkan ada yang bernilai maudhu’. Akan tetapi hadist masyhur yang
berkualitas shahih memiliki kelebihan untuk ditarjih (diunggulkan) bila
ternyata bertentangan dengan hadist aziz dan hadist gharib.[18]
b)
Hadist Aziz
Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua
atau tiga perawi dalam salah satu thabaqahnya. Ini adalah definisi Ibn
Shalah dan diikuti pula oleh Imam Nawawi. Hadist riwayat dua atau tiga perawi
dapat dikategorikan aziz. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat dua orang untuk
definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.
Contoh hadist yang dikategorikan
aziz, di antaranya:
لا يؤمن
احدكم حتي أكون أحب إليه من والده و الناس اجمعين
Artinya: Belum sempurna iman seseorang jika ia
belum mencintaiku melebihi cintanya kepada orang tuanya,
anaknya dan semua orang.
c)
Hadist
Gharib
Hadist gharib adalah hadist yang hanya diriwayatkan
oleh satu orang dalam salah satu thabaqahnya. Dinamakan demikian karena
ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain atau jauh dari
tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh terasing dari
sanak keluarganya. Para ulama membagi hadist gharib menjadi dua berdasarkan letak
keterasingannya:
1) Gharib Mutlak, dikatakan demikian jika dalam salah
satu tingkatan sanadnya terdapat hanya seorang perawi yang meriwayatkan.
Misalnya hadist shahih yang berbunyi:
كلمتان خفيفتان علي اللسان ثقيلتان في
الميزان حبيبتان إلي الرحمن سبحان الله العظيم سبحان الله وبحمده
Artinya: Ada dua kalimat yang ringan untuk
diucapkan oleh lidah namun berat bobot timbangannya dan sangat dicintai oleh
Allah, kalimat itu adalah subhanallah wa bihamdih.
Hadist ini pada tingkatan sahabat diriwayatkan hanya
oleh Abu Hurairah, demikian pula pada tingkatan berikutnya yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi.
2) Gharib Nisbi,
yaitu hadist yang dalam sanadnya terdapat perbedaan yang membedakan dengan
kondisi mayoritas sanad. Gharib nisbi tidak berkaitan dengan jumlah perawi,
namun lebih pada kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan kondisi
sanad lain. Perbedaan tersebut bisa berkaitan dengan tempat atau sifat perawi.
Misalnya dalam sebuah sanad hadist seluruh perawinya berasal dari kota yang
sama, Bashrah misalnya. Atau mereka memiliki predikat sifat yang sama, yaitu tsiqah.
Istilah lain yang sering
disepadankan dengan gharib adalah munfarid. Sebagian ulama membedakan dua
istilah tersebut seperti Al-Qoriy yang kemudian dianut oleh Nuruddin ‘Itr. ‘Itr
menilai ada sisi-sisi tertentu yang tidak bisa disepadankan, terutama yang
berkaitan dengan contoh pembagiannya.
Sebagian ulama lain justru menyamakan dua istilah
tersebut, baik secara etimologi maupun terminologi. Mereka menilai bahwa
perbedaan sebenarnya bukan pada masalah yang esensial, namun sebatas
pengkategorian kasus. Pendapat ini dianut oleh Muhammad Adib Sholeh.
5.
Kehujjahan
Hadist Ahad
Hadist ahad dengan pembagiannya
terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada
syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama
sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut
masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.
Para ulama banyak memberikan bukti
tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-dalil yang mereka gunakan
adalah:
a. Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala
menyebarkan Islam kepada para pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk
dan mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua
belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk diajak
menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa
oleh satu dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya Rasulullah menilai
jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat
dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit
tersebut. Demikian kata Imam Syafi’i.
b.
Dalam
menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu
orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang
kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan
arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian dipindah
ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info pengalihan seperti ini disampaikan oleh
seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi SAW kemudian datang ke salah satu
kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu memberitahukan bahwa
kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi seperti itu spontan mereka
berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri
ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar
satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan
menggubris informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
c. Termasuk dalil
yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad adalah
hadist yang berbunyi:
نضر الله
امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعي من سامع
Artinya: Semoga Allah membaguskan wajah orang yang
mendengar dari kami sebuah hadis lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar,
bias jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari pada orang yang mendengar.
Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan
pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut
dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain
hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga
berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.[19]
Namun demikian, pembelaan kaum ahlu sunnah wa al
jama’ah terhadap hadist ahad, bukan berarti tanpa alasan. Mereka yakin bahwa memanfaatkan
hadist sekalipun ahad, jauh lebih bernilai dibandingkan dengan ketiadaan
rujukan dalam penetapan hukum.[20]
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita dapat
menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya)
perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang
diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai
kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at thabi’un). Dengan demikian
penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas perawi
dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya,
hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila
dilihat dari sisi susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu
periwayatan dengan periwayatan lainnya.
2. Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang
rawi-rawinya berlainan dalam susunan redaksinya, tetapi di antara perbedaan
itu, masih menyisakan persamaan dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan
kata lain hadist yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan kata-kata
yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah
hadist ahad yakni hadist yang dilihat dari sisi penutur dan perawinya
tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang mendekati jumlah hadist
mutawatir.. berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan.
Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing
thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz,
dan hadist gharib.
1.
Hadist
masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi
hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2.
Hadist aziz
adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya
terdapat dalam satu thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
3.
Hadist
gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.
b.
Saran
Bahwa didalam mempelajari studi
hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits dari segi kuantitas
hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits,
dan untuk bisa membedakan keshahihan suatu hadits
harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk
golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001).
Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009).
Hassan, A. Qadir. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2.
(Bangil:Al-Muslimun, 1966).
Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam,
1993).
Smeer, Zeid B. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis.
(Malang, UIN- Malang Press).
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007).
Saefullah, Yusuf, dan Cecep Sumarna. Pengantar Ilmu
Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004).
[20] Drs. Yusuf Saefullah, M. Ag dan Drs. Cecep Sumarna, M.
Ag. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). H. 68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar