Blogger Widgets Ahalan Wa Sahlan Ya Ikhwani fillah......!!!!: tafsir dan takwil Blogger Widgets

Kamis, 19 Desember 2013

tafsir dan takwil


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafazh dan ungkapan al-qur’an tidaklah sama, padahal penjelesannya sedemikian gamblang dan ayat-ayatnya sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara umat islam adalah suatu hal yang tidak perlu dipertentangkan, akan tetapi merupakan keberagaman dalam memehaminya.
Al-qur’an merupakan sumber utama umat islam dalam penetepan hokum, untuk memehami al-qur’an membutuhkan pengetahuan yang komplit. Karena didalam al-qur’an arti dan lafadnya kadang berbeda, ini membutuhkan penafsiran dan pena’wilan dari pada al-qur’an. Tanpa adanya tafsir dan ta’wil akan kesulitan memahami al-qur’an secara universal.
Urgensi dari tafsir dan ta’wil sangat penting untuk mengetahui maksud yang tersurat dan tersirat dalam al-qur’an. Maka tidak mengherankan jika al-qur’an mendapat perhatian intensif oleh umat islam dalam menggali dan memahami lafaz dan untaian kalimat al-qur’an untuk dijadikan sumber hukum dan pegangan hidup. Dalam pembahasan makalah ini penulis focus kepada pengertian tafsir dan ta’wil, perbedaan antara tafsir dan ta’wil, serta keutamaan tafsir.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut
·         Apa Pengertian Tafsir dan Takwil ?
·         Apa Perbedaan Tafsir dan Takwil ?
·         Bagaimana Munculnya Tafsir dan Ilmunya ?
·         Bagaimana Sejarah Berkembangnya Tafsir al-Quran ?
·         Bagaimana Bentuk dan Metode Tafsir al-Quran ?
·         Bagaiman Syarat dan Adab Penafsiran ?

3.      Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan maslah di atas maka pemakalah dapat menentukan pembahasan makalah sebagai berikut :
·         Untuk Mengetahui  Pengertian Tafsir dan Takwil
·         Untuk Mengetahui Perbedaan Tafsir dan Takwil
·         Untuk Mengetahui  Munculnya Tafsir dan Ilmunya
·         Untuk Mengetahui Bentuk dan Metode Tafsir al-Quran
·         Untuk Mengetahui Syarat dan Adab Penafsiran





.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir dan Takwil
1.      Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “ taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan tafsir secara istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapan lafaz-lafaz qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya[1]
Menurut Muhammad Ali As-Shobuni, tafsir menurut bahasa berikut:[2]
tafsir secara bahasa adalah penjelasan dan penerangan. Menafsirkan berarti menjelaskan dan menerangkan dan perkataan mufasir yang jelas dan terang.
     
Menurut Az-zarkasyi dalam kitabnya, Al-Burhan fi ulum al_quran mendifinisikan tafsir dengan :
Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kapada nabi Muhammad Saw dan menjelaskan maknanya serta menguraikan hokum dan hikmahnya.[3]
     
Menurut Imam Suyuti tafsir adalah suatu ilmu yang menjelaskan makna-makna al-Quran dan menerpkan secara umum lafaz yang sulit dan selainnya dan bentuk makna yang nyata dan selainnya.[4]
      Menurut Muhammad Abdul Azim Azzarani tafsir adalah suatu ilmu yang membahas tentang al-Quran dari segi dalil-dalil terhadap apa yang dimaksud oleh Allah Swt sesuai dengan kemampuan manusia.[5]
Istilah tafsir di dalam al-Quran dapat dilihat pada surat al-Furqan (25) :33 yang berbunyi :
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan kami datangkan keoadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya)[6]
Dari bebrapa definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji dan membahas al-Quran dan mencari hikmah-hikmah yang terkandung dalam al-Quran.

2.      Pengertian Takwil
Menurut bahasa, takwil diambil dari kata al-awala dengan makna kembali.[7] Di dalam kamus al-muhit,: awalul kalam takwilnya, mendalami, dan meneliti dan menerangkan,[8] di dalam lisanul arab,: mengembalikan makna sesuatu.[9] Namun takwil secara istilah yang mashur di kalangan ulama adalah: sinonim dari tafsir, dengan dalil ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 7:[10]
ابتغاء الفتنة وابتغاء تاْ ويله

Menurut Muhammad Ali-Ashobuni, pengertian takwil sebagai berikut :[11]
واما التاْ ويل فهو ترجيح بعض المعا نى المختملة من الاية الكريمة التى تحتمل عدة معا ن والتاْ ويل ما ا ستمبطه العا رفون من المعا نى الخفية والا سرار الربا نية اللطيفة التى تحمله الاية الكريمة
                 
Menurut istilah, ulama bebeda pendapat dalam mendefinisikannya. Di antaranya : menurut Mutaqaddimin bahwa takwil itu sama defenisinya dengan tafsir. Menurut sebagian ulama bahwa takwil itu lebih khusus dari pada tafsir. Takwil menjelaskan lafaz al-Quran dengan jalan dirayah sedangkan tafsir menjelaskan lafaz al-quran dengan jalan riwayat.[12]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa takwil yidak jauh berbeda dengan tafsir namun ada sedikit perbedaan dalam meneliti ayat al-quran.
B.     Perbedaan Tafsir dan Takwil
TAFSIR
TAKWIL
1.    AL-raghib AL-ashfani : lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafadz dan kosa kata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
1.    AL-raghib AL-ashfani :lebih banyak dipergunakan untuk makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja.[13]
2.    Menerangkan makna lafadz yang tak menerima lain dari satu arti
2.    Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazd yang dapat menerima banyak makna karena ada dalil-dalil yang mendukungnya.  
3.    Al-Maturidi : menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan demikianlah yang dikehendaki Allah.
3.    Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat dengan tidak meyakini bahwa itulah yang dikehendaki Allah
4.  Abu thalib Ats-a’labi: menerangkan makna lafadz, baik berupa hakihat atau majaz.
4.  Abu thalib Ats-sa’labi: menafsirkan batin lafadz.[14]
4.    Bersangkut paut dengan riwayah
5.    Bersangkut paut dengan dirayah
C.    Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran
a.       Tafsir  Pada Masa Nabi dan Sahabat
               Al-qur’an diturunkan dalam bahasa arab, menurut uslubnya.seluruh lafadz al-qur’an adalah bahasa arab. Rasulullah SAW setiap menerima ayat al-qur’an lansung menyampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan makna yang perlu ditafsirkan. Maka karena mengetahui tafsir adalah hal yang sangat penting, para sahabatpun bersungguh-sungguh mempelajari al-qur’an, yakni memahami dan mentadab-buri maknanya. Apabila para sahabat tidak mengetahui makna suatu lafadz dari al-qur’an atau maksud suatu ayat, segeralah para sahabat menanyakan langsung kepada rasulullah. Para sahabat dalam menafsirkan al-qur’an selalu berpegang kepada al-qur’an, nabi dan pemahaman serta ijtihad. [15]
Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-qur’an adalah empat khalifah, Ibn Mas’ud, Ibn abbas, Ubai bin Ka’ab, zaid bin Sabit, abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Aisyah.


b.      Tafsir  pada Masa Tabi’in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat yang dikenal dalam lapangan tafsir, maka sebagian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada mereka yang juga terkenal dalam tafsir pada masa sahabat.[16] Dalam hal sumber tafsir, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa pendahulunya disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Dalam memahami kitabullah, para mufassir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada di dalam al-qur’an tiu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran meraka sendiri, keterangan yang diterima dari ahli kitab yang bersumber dari sisi kitab mereka. Dan ijtihad serta pertimbangan nalar terhadap kitabullah sebagaimana yang telah dianugrahkan Allah kepada mereka.
Ada beberapa tempat yang mengajarkan tafsir kepada para tabi’in. di Mekah, dimana para tabi’in belajar kepada Ibn Abbas, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn abbas, Tawus bin Kaisan al-Yamani dan ‘Ata’ bin Rabbah. Begitu juga beberapa kota lain seperti di Madinah sahabat Ubai bin Ka’ab lebih terkenal dibidang tafsir dari orang lain. Diantara muridnya dari kalangan tabi’in adalah zaid bin aslam, Abu ‘Aliyah dan muhamad bin Ka’ab al-Qurazi. Di kota Irak yang mengajarkan tafsir adalah Ibn Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab al-ra’yu, diantara muridnya yang terkenal adalah ‘Alqamah, amir as-Sya’bi, hasan al-Bashri dan Qatadah bin Di’amah as-sadusi.[17]
Pada masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan periwayatan. Akan tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir, sehingga timbul silang pendapat. Perbedaan pendapat hanya terletak pada sinonim semata dan redaksional, tetapi tidak bertentangan dan kontradiktif.
c.       Tafsir Pada Masa Pembukuan
Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir dinasti bani Umayah dan Awal dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadis menjadi perioritas utama dan pembukuannya meliputi berbagai bab. Pada masa ini penulisan tafsir belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir al-qur’an surah demi surah, ayat demi ayat, dari awal qur’an sampai akhir.
Banyak ulama yang berusaha mengumpulkan hadist-hadist tafsir dengan melawat ke berbagai kota yang dilakukan oleh Yazid bin harus al-Sulamy (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin al-Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubada al-Bishri (w. 205 H), Abdur Razzaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abi Iyas (w. 220 H), dan Abdun bin Humaid (w. 249 H).[18]
Sesudah golongan ini datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya ilmu yang berdiri sendiri Dan terpisah dari hadist. Al-Qur’an mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Diantara mereka adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi hatim (w.327 H), Abu Syaikh bin Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410).[19]
D.    Bentuk dan Metode Tafsir al-Quran
a.       Bentuk-bentuk Tafsir
·         Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran dengan hadist Nabi SAW, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. semakin jauh rentang zaman dari masa nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang.[20]
Kitab-kitab tafsir yang memuat Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu, Jami’al Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an: Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), al-Kasyfu wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an: Ahmad Ibn Ibrahim (427 H), Ma’alimu al-Tanzil : Imam al-Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516 H), al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an : Al-Qurthubi (671 H), Tafsir al-Qur’an al-Adhim: Imam Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir (774 H), Ad-Durru al-Mantsur fi tafsir bi al-Ma’tsur: Jalaluddin as-Suyuti (911 H).[21]
Contoh : al- Maidah ayat 1
يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلي الصيد وأنتم حرم إن الله يحكم ما يريد
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Dan nash إلا ما يتلى عليكم ditafsirkan pula pada surah yang sama dalam ayat 3 yaitu bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.
·         Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa arab, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir seperti mengenai syarat-syarat penafsir.[22]
Tatkala ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat, disaat para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan berbagai karya ilmu, maka karya tafsir juga ikut bermunculan dengan pesatnya dan diwarnai oleh latar belakang pendidikan masing-masing pengarangnya. Masing-masing pengarang mempunyai kecendrungan dan arah pembahasan tersendiri berbeda dengan yang lain. Bermula dari gejala demikian, lahirlah bermacam-macam tafsir.[23]
Banyak dalil-dalil al-Qur’an yang di jadikan landasan dalam menafsiri al-Qur’an secara ra’yi:
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب
Artinya: “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (Q.S. Al-Shaad: 29)
Corak tafsir bi Al-Ra’yi ini ada yang diterima dan ada pula yang ditolak. Tafsir bi al-Ra’yi ini dapat diterima sepanjang penafsirannya memenuhi syarat-syarat tafsir. Yang harus diperhatikan adalah:
1.      Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak allah di dalamnya, tanpa memiliki persyaratan sebagai penafsir.
2.      Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang allah untuk mengetahuinya.
3.      Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
4.      Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madhab semata, dimana ajaran madzhab dijadikan dasar utama sementara tafsir itu sendiri di nomorduakan, sehingga terjadilah berbagai kekeliruan.
5.      Menghindari penafsiran pasti (qath’i), dimana seorang mufassir tanpa alas an mengkalim bahwa itulah satu-satunya maksud Allah SWT.[24]
Dintara kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi adalah: Mafatihu al-Ghaib: Fahruddin ar-Razi (w. 606 H ), Anwaru al-Tanzil wa israrut Ta’wil: Imam al-Baidhawi (692 H), Madariku al-Tanzil wa Haqaiqut ta’wil: Abul Barakat an Nasafi (w. 710 H), Lubabu al-Ta’wil fi ma’ani al-Tanzil: Imam al-Khazin (w. 741 H).[25]
Contoh : Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir Jalalain:
خلق الإنسان من علق
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.(QS Al Alaq 2)
                        Kata ‘alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ‘alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
·         Tafsir bi al-Isyari
Diantara kelompok sufi ada yang mendakwakan bahwa riyadah rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan pada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib.
           Setiap ayat mempunyai makan zahir dan makna yang bathin.  Yang zahir ialah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum yang lain, sedangkan yang bathin ialah isyarat-isyarat tersembunyi dibalik itu yang hanya Nampak bagi ahli suluk. Contoh tafsir isyari apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas persoalan maksud ayat;
إذا جاء نصر الله والفتح
Artinya:”Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,(Q.S. 110.1)
Para sahabat mengatakan maksud dari ayat ini adalah” kami diperintahkan agar memuji kepada allah dan memohon ampunan kepada-Nya, ketika kita memperoleh pertolongan dan kemenengan”. Sedangkan sebagain sahabat yang lain bungkam, tidak berkata apa-apa. Kemudian sahabat umar bertanya kepadaku, begitukah pendapatmu wahai Ibn  Abbas? Kemudian Ibn Abbas menjawab” ayat itu menunjukkan tentang ajal rasullah yang diberitahukan Allah kepadanya.ia berfirman: apabila telah dating pertolongan allah dan kemenangan. Dan itu adalah tanda-tanda ajalmu (Muhamad), maka bertasbilah dengan memuji tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya.Sesungguhnya Ia maha penerima taubat. Kemudian sahabat Umar berkata:” Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakana itu.”[26]
Akan tetapi ada tiga bagian tafsir yang termasyhur di kalangan banyak :
ü  Tafsir Tahliliy : menafsirkan ayat kalimat kalimat demi kaliamt dan dilengkapi dengan I’rab
ü  Tafsir Maudhu’I : menafsirkan ayat sesuai dengan mau’dhu yang ada dalam Al-Quran
ü  Tafsir ayatul ahkam : menafsirkan ayat yang di sana ada hokum fiqih.

b.      Metode Tafsir
·         Metode Tafsir Tahlily
Tafsir tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.  Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat, korelasi ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain.
Penafsir juga membahas mengenai asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari nabi, sahabat, dan tabi’in. yang kadang-kadang bercampur dengan pendapat para mufassir yang dipengaruhi latar belakang pendidikan dalam menafsirkan al-Qur’an.[27] Diantara kitab-kitab tafsir yang memakai metode tahlily: Mafatihul ghaib : Fahruddin Ar-Razi (w. 606 H), Tafsir al-Maraghi: Ahmad Musthafa Al-Maraghi (w. 1371 H).
(ولله المشرق والمغرب) maksudnya timur dan barat dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah, dia yang memiki dan menguasainya; (فا ينما تولوا) maka kearah manapun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu menghadap kiblat, sesuai dengan maksud firman Allah SWT; (فول وجهك شطر المسجد الحرام حيثما كنتم فولوا وجوهكم شطره) niscaya (di sana ada Allah), artinya ditempat itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya (disitu).
Yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah apabila kamu terhalang melakukan sholat di Masjidil Haram dan masjid Baitul Maqdis, maka (jangan khawatir) sebab seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu kamu boleh sholat di tempat mana saja dimuka bumi ini, dan silahkan menghadap kearah mana saja yang dapat kamu lakukan di tempat itu, tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat oleh lokasi manapun. Hal itu dimungkinkan karena Allah Maha Lapang dan Luas rahmat-Nya. Dia ingin memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada hamba-hamban-Nya, lagi Maha Tahu tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka.
Penafsiran ini sesuai dengan latar belakang turun ayat yang menurut Ibn Umar, ayat ini turun berkenaan dengan sholat musafir di atas kendaraan ia menghadap kearah mana kendaraannya menghadap. Tetapi menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka sholat kea rah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing), setelah pagi hari ternyata mereka keliru menghadap kiblat, lantas mereka menyampaikan peristiwa itu kepada rasul (maka turunlah ayat ini)
Ada yang berpendapat kebolehan menghadap kearah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam sholat. Al-Hasan membaca ayat itu (فا ينما تولوا) dengan memberi harakat fathah pada huruf (ت) sehingga bacaannya menjadi (تولوا) karena menurutnya kata itu berasal dari (تولى) yang berarti kearah mana saja kamu menghadap kiblat.
Metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya
1.      Kelebihan:
a.             Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
b.            Memuat berbagai  ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang  luas kepada mufassir untuk mencurahkan  ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan  terbukanya pintu  selebar-lebarnya  bagi mufassir  untuk mengemukakan  pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.
2.      Kelemahan
a.          Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
b.         Melahirkan penafsir subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah  atau  norma-norma  penafsiran.
c.          Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
·         Metode Tafsir Ijmaly
Tafsir Ijmaly adalah penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat. Dalam hal ini mufassir hanya menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya sebatas makna yang terkait secara langsung, tanpa menyinggung hal-hal tidak terkait secara langsung dengan ayat.
Tafsir dengan metode ini sangat praktis untuk mencari makna mufradat kalimat-kalimat yang gharib dalam Alquran. Di antara kitab-kitab tafsir yang termasuk menggunakan metode Ijmali ini antara lain: Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: Muhammad Farid Wajdi,  Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Mujma’al Bukhutsil Islamiya.[28]
Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5  ayat  pertama  dari  surat  al-Baqarah,  tampak  tafsirnya  sangat  singkat dan  global  hingga  tidak  ditemui  rincian  atau  penjelasan  yang memadai.  Penafsiran  tentang  الم) (misalnya,  dia  hanya  berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaaba ( الكتاب ) penafsiran hanya dikatakan: Yang  dibacakan  oleh Muhammad. Begitu  seterusnya,  tanpa  ada  rincian sehingga  penafsiran  lima  ayat  itu  hanya  dalam  beberapa  baris  saja.
Disinilah, metode  ijmali  dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an  juga memiliki kelebihan dan kelemahan di antaranya, sebagai berikut:
1.  Kelebihan                                   
a.                Praktis dan mudah dipahami  oleh  ummat  dari berbagai  strata  sosial  dan  lapisan masyakat. 
b.               Bebas  dari  penafsiran  kemungkinan israiliah maka  tafsir ijmali  relatif murni  dan  terbebas  dari  pemikiran-pemikiran  Israiliat  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
c.                Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
2. Kelemahan
a.                Menjadikan  petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang  utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
b.               Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode  ijmali  tidak menyediakan  ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan  adanya  analisis  yang  rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode  ini.
·         Metode Tafsir Muqaran
Kata muqaran merupakan mashdar dari مقار- يققارن-قققارن نننة yang berarti perbedaan (komperatif). Walau masing-masing term tafsir
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqâran sebagai: "Membandingkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama.
Tafsir muqaran adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’ann yang ditulis oleh sejumlah panafsir. Disini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-qur’an, kemudian mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai suatu ayat melalui beberapa kita-kitab tafsir. Apakah termasuk pada tafsir bi al-ma’tsur maupun tafsir bi al-ra’yi.[29]
Mufassir dengan metode ini dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang mereka kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk menerima penafsiran yg dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca dapat memahami tafsirnya. Diantara kitab tafsir yang bercorak moqaran adalah Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: Imam Qurthubi (w. 671 H).[30]
Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai berikut :
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)
(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.
1.      Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)

Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
Kelebihan:
1.      Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
2.      Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
3.      Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
4.      Dengan menggunakan metode  ini, mufassir  didorong  untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.


Kelemahan:
1.      Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
2.      Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah,
3.      Metode  ini  terkesan  lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih kreatif dan orisinal. Jadi ini hanya kumpulan kitab tafsir dari berbagai sumber terus disusun menjadi satu kitab.
·         Metode Tafsir Maudhu’iy
Tafsir maudhu’iy adalah menghimpun ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai maksud yang sama  dalam arti sama-sama membicarakan suatu topic masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologis serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’iy, dengan meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar.[31]
Diantara kitab-kitab tafsir yang bercorak maudhu’iy adalah al-Mar’atu fi al-Qur’an al-karim: Abbas al-Aqqad, ar-Riba fi al-Qur’an al-Karim: Abul ‘Ala al-Maududi, Al-Mahdatu al-Mankhiyah: Dr. M. Hijazi, Ayati al-kauniyah: Dr.Abdullah syahhatah.[32]
Langkah-langkah atau cara kerja dalam metode tafsir maudhu’iy:
1.      Memilih atau menetapkan masalah al-qur’an yang akan dikaji secara tematik.
2.      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan maslah yang sudah ditetapkan.
3.      Mengetahui korelasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
4.      Menyusun tema bahasan di dalam kerangkan yang sistematis, dan sempurna.
5.      Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadist, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi sempurna dan jelas.[33]
Contoh dalam metode tafsir maudhu’iy seperti pembicaraan al-Quran mengenai anak yatim:
ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشده وأوفوا بالعهد إن العهد كان مسؤولا
Artinya:”Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.(Q.S. al-Isra (17):34)
žكلا بل لا تكرمون اليتيم
Artinya:”Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. (Q.S. al-Fajr (89):17)
Metode  ini  memiliki  beberapa keistimewaan dibandingkan dengan metode-metode lain yang dipergunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya adalah:
a.       Menghindari problem atau kelemahan metode lain
b.              Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
c.       Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
d.      Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Kelemahan
a.       Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
b.      Memasung dan membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebu
c.       Teks Al qur’an sesuatu yang bersifat absolut dan permanen sementara tema-tema (waqi’iyyah) terus berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dengan berbagai tema yang ada. Untuk itu metode ini memungkinkan munculnya pemerkosaan terhadap ayat atas konteks permasalahan yang ada dalam dunia kontemporer. Misalnya kata al Sayyarah, akan terjebak dengan pengertian makna maudzu’ dimaknai dengan mobil, ayat hatifun, dimaknai sebagai ayat tema - tema telepon dll.
E.     Syarat dan Adab Penafsiran
a.      Syarat-syarat Penafsiran
Untuk bisa menafsirkan al-Quran, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria, diantaranya :
1.      Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat berpengaruh dalam menafsirkan al-Quran
2.      Tidak dengan hawa nafsu semata, karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenagkan pendapatnya sendiri tanpa melihat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat dan mazhabnya.
3.      Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-quran seperti penafsiran dengan al-quran kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4.      Paham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Quran turun dengan bahasa arab mujahid berkata: “tidak boleh seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang kitabullah (Al-Quran) jikalau tidak menguasai bahasa Arab”.
5.      Memilki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarah) suatu makna atau mengistimbatkan suatu hokum sesuai dengan nusus syari’ah
6.      Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Quran seperti ilmu nahwu (grammer), al- isytiqaa (pecahan-pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Quran),aqidah shahihah, ushul fiqh, asbabunnuzul kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.

b.      Adab penafsiran
Adapun adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir adalah di antaranya :
1.      Niatnya harus bagus, hanya untuk mencapai keridhaan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung pada niatnya .
2.      Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3.      Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik
4.      Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenerannya
5.      Berani dalam menyuarakan kebenaran di mana pun dan kapan pun dia berada
6.      Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian.
7.      Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat.memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balaghoh, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan istimbat hokum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.[34]

F.     Manfaat Belajar Tafsir dan Takwil

1.      Bisa membedakan antara tafsir dan takwil
2.      Bisa membedakan antara tiap metode dan macam tafsir
3.      Bisa mengerti makna yang tersirat dari kalimat-kalimat alquran






BAB III
PENUTUP
Kesimpul
TAFSIR
TAKWIL
1.    AL-raghib AL-ashfani : lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafadz dan kosa kata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
1.    AL-raghib AL-ashfani :lebih banyak dipergunakan untuk makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja.[35]
2.    Menerangkan makna lafadz yang tak menerima lain dari satu arti
2.    Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazd yang dapat menerima banyak makna karena ada dalil-dalil yang mendukungnya.  
3.    Al-Maturidi : menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan demikianlah yang dikehendaki Allah.
3.    Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat dengan tidak meyakini bahwa itulah yang dikehendaki Allah
4.  Abu thalib Ats-a’labi: menerangkan makna lafadz, baik berupa hakihat atau majaz.
4.  Abu thalib Ats-sa’labi: menafsirkan batin lafadz.[36]
4.    Bersangkut paut dengan riwayah
5.    Bersangkut paut dengan dirayah




DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Mudzakir AS (terj )(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 2010)
Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang. 1980)
Imam Muchlas. Penafsiran Al-Qur’an Tematis permasalahan, (Malang: UMM Press. 2004)
Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudaili. Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa. 1993)
Abd. Al-Hayy al-Farmawi. Metode Tafsir Mawdhu’iy. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994).

Ridlwan Nasir. Memahami Al-Qur’an persefektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. (Surabaya: CV. Indra Media. 2003).
M. Natsir Arsyad. Sari Buku Pintar Islam Seputar Al-Qur’an, Hadist dan Ilmu.(Bandung: Al Bayan. 1996).
Abd. Al-Hayy al-Farmawi. Metode Tafsir Mawdhu’iy. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994).





[1] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Mudzakir AS (terj )(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 2010). 455-456.
[2] Muhammad Ali As-shobuni, At-Tibyani Fi Ulumi Quran (Makkah : Alimul Kutub, 1985)h.65
[3] Az-Zakarsyi, Burhan fi Ulumil Quran (mesir dar al Ihya al Kutub al Arabi,1957)hal.13
[4] Al-itqaan fi ulumulquran jilid 2 hal.173
[5] Manahilil ‘irfan fi ulumulquran 2 hal 5
[6] QS alfurqan  (25) 33
[7] Tafsir wal mufassirun jilid 1 hal 19
[8] Kamus Al-mujtahid
[9] Lisanul arab jilid 3 hal 341
[10] QS. Ali imaran (3) 7
[11] Muhammad Ali as-Shobuni, At-tibyan fi ulumil quran (makkah: alimul kutub,1985) hal.66
[12] Opcit,Manahilul ‘irfan fi ulumulquran 2 hal 6-7 dan Al-itqaan fi ulumulquran jilid2 hal173
[14]  Ibid
[15] Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang. 1980), hal 220
[16] Imam Muchlas. Penafsiran Al-Qur’an Tematis permasalahan, (Malang: UMM Press. 2004)42.

[17] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Mudzakir AS (terj )(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 2010). Hal 476
[18] Mashuri Sirojuddin Iqbal & A. Fudaili. Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa. 1993)109.
[19] Opcit.Manna’ khalil al-Qattan. 477.
[20] Abd. Al-Hayy al-Farmawi. Metode Tafsir Mawdhu’iy. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994). 13.

[21] Ridlwan Nasir. Memahami Al-Qur’an persefektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. (Surabaya: CV. Indra Media. 2003).hal 15
[22] M. Natsir Arsyad. Sari Buku Pintar Islam Seputar Al-Qur’an, Hadist dan Ilmu.(Bandung: Al Bayan. 1996).hal 60.

[23] Abd. Al-Hayy al-Farmawi. Metode Tafsir Mawdhu’iy. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994).hal  15.

[24] Ibid,hal 16
[25] Opcit, Ridlwan Nasir.hal 15.
[26] Opcit, Manna’ Khalil Al-Qattan. Hal 496.
[27] Opcit, Abd, Al-Hayy Al-Farmawi.hal 12.
[28] Opcit, Ridlwan Nasir.hal 16.
[29] Opcit, Abd Hayy al-Farmawi.hal 30.
[30] Opcit, Ridlwan Nasir.hal 16.
[31] Opcit, Ridlwan Nasir.hal  17.
[32]Opcit,  Abd. Al-Hayy al-Farmawi.hal  45-46.
[33] Ibid.hal 62.

[34] Opcit,Manna’ul qattan mabahisul ulumul qur’an hal 329.dan Al-‘aqdu astamin fi manahijil mufassirin hal.145
[36]  Ibid
tafsir dan takwil

1 komentar:

  1. The Best Casinos & Casinos - Goo Norman
    Online gambling is the most popular form of gambling 강원 랜드 칩걸 in the world. This type of casino is popular among all 안전 바카라 gamblers 봄비 벳 who enjoy gambling. firmpointpilates.com The 스포티비365 casino's

    BalasHapus